Tidak sedikit produk undang-undang yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menuai penolakan dan menjadi perdebatan di masyakarat umum, baik dikalangan praktisi maupun akademisi, salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ("UU TPPU"), sempat terjadi kekhawatiran di masyarakat umum terkait dengan Pasal 5 yang menyebutkan:
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
frasa "patut diduganya" sontak membuat masyarakat menjadi tidak habis pikir, bagaimana seseorang bisa menduga kalau uang yang diterima adalah uang yang berasal dari kejahatan, dengan memiliki budaya yang "tidak enakan" tentu orang akan merasa "tidak enak" atau tidak nyaman untuk menduga-duga apalagi menanyakan asal-usul uang atau barang yang ia terima dari hasil kejahatan atau halal.
Namun yang akan dibahas disini adalah terkait dengan Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ("UU TPPU") menyebutkan sebagai berikut:
Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Ketentuan ini sampai sekarang dan mungkin sampai nanti masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi, apakah untuk menuntut TPPU perlu dibuktikan lebih dahulu tindak pidana asalnya atau tidak?, karena logikanya, bagaimana mungkin ada TPPU jika tidak ada tindak pidana asalnya (predicate crime).
Pada tahun 2014 terpidana kasus Tipikor dan TPPU yang notabene mantan Hakim Mahkamah Konstitusi RI yaitu M Akil Mochtar mengajukan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) Pasal 69, Pasal 76 ayat (1) Pasal 77, Pasal 78 ayat (1) dan Pasal 95 UU TPPU. dalam persidangan terjadi perdebatan secara ilmiah di antara para Ahli yang diajukan. hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan untuk seluruhnya, namun terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda yaitu Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Disini saya kutip dan rangkum pendapat-pendapat Ahli dalam persidangan yang menurut saya cukup menarik untuk dikaji, khususnya pendapatnya mengenai Pasal 69, kemudian juga mengenai dissenting opinion dari kedua hakim konsititusi tersebut.
I Gde Pantja Astawa:
"Bahwa logika hukumnya sebagai berikut, apabila tindak pidana asal (predicate crime) tidak terbukti, maka tidak terbukti pula atau tidak ada harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana yang menjadi objek, tindak pidana pencucian uang itu. Sebab dengan tidak terbuktinya tindak pidana asal, maka tidak ada tindak pidana. Sehingga harta kekayaan diperoleh daripadanya, bukan merupakan hasil tindak pidana, melainkan merupakan harta kekayaan yang sah, sehingga dapat diinvestasikan atau ditransaksikan secara legal dan tidak dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang. Untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum tersebut di atas, seharusnya tindak pidana asal (predicate crime)-nya yang harus diproses hukum terlebih dahulu. Di sini dilakukan penuntutan dan disidangkan terlebih dahulu, barulah kemudian apabila dinyatakan tindak pidana asalnya terbukti dilakukan proses hukum terhadap tindak pidana pencucian uang. Sebaliknya pula, dalam hal predicate crime-nya dinyatakan tidak terbukti ole pengadilan, maka tidak perlu dilanjutkan dengan melakukan proses penyidikan, apalagi penuntutan, atau persidangan di depan pengadilan atas tindak pidana pencucian uangnya. Dengan langkah seperti ini, logika hukum kita tidak akan dibuat terbalik akibat dapat dibuktikan tapa adanya kausal atau sebab."
Eddy OS Hiariej:
"Bahwa sebetulnya perbedaan pendapat dalam akademis adalah suatu hal yang sunatullah apa yang disampaikan oleh Pihak Terkait memang ada perbedaan prinsip dengan yang ahli akan sampaikan karena ahli memandang tindak pidana pencucian uang bukan delik mandiri, bukan delik yang independen, tetapi adalah delik lanjutan dan oleh karena delik lanjutan, maka ahli tidak mempermasalahkan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 karena apabila melihat ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, selalu di-juncto-kan dengan Pasal 2.Hal tersebut menandakan tindak pidana pencucian uang bukan kejahatan yang mandiri karena selalu dihubungkan dengan kejahatan asal. Boleh dikatakan bahwa kejahatan asal adalah causa proxima adanya tindak pidana pencucian uang. Ini tentunya bertentangan dalam pendapat ahli dengan ketentuan Pasal 69 yang dinyatakan tidak wajib membuktikan kejahatan asal terlebih dahulu.Oleh karena itu, ahli memberi solusi dalam pendapat ahli yang sudah diberikan, boleh kejahatan asal tidak dibuktikan terlebih dahulu, tetapi setidak-tidaknya kejahatan asal tersebut dibuktikan bersama-sama dengan tindak pidana pencucian uang. Artinya ada concursus realis, dan ahli kira ini yang selalu dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menuntut di Pengadilan Tipikor selalu dipasang pasal kumulatif. Jadi selain tindak pidana korupsi sekaligus ada tindak pidana pencucian uang."
Chairul Huda:
"Bahwa dilihat dari segi ini, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah dimaknai keluar dari alasan sosiologis dan filosofis maksud pembentukan Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini, seharusnya Pasal 69 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucuian Uang, dimaknai bahwa untuk dapat melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib "ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap" tindak pidana asalnya. Artinya, tidak wajib "dibuktikan terlebih dahulu" tindak pidana asalnya, maksudnya tidak wajib "ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap" tindak pidana asalnya.Penafsiran ini, juga bersumber dari digunakannya kata "terlebih dahulu" mengikuti kata "tidak wajib dibuktikan". Dengan demikian, pembuktian, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di muka sidang pengadilan, dilakukan "bersamaan" dengan tindak pidana asalnva, sebagai dakwaan kumulatif atau setidak-tidanya sebagai salah satu unsur dari tindak pidana pencucian uang."
Yusril Ihza Mahendra:
"Kata "tidak" dalam Pasal 69 Undang-Undang a quo yang menyatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyeidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan pengadilan terhadap kejahatan pencucian uang, tidak wajib dibuktikan lebih dulu pidana asalnya. Terhadap norma ini, perdebatan akademis maupun perdebatan di forum pengailan terus-menerus terjadi tanpa kejelasan, sehingga sudah semestinya Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan demi tegaknya asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dan demi tegaknya keadilan dan kepastian hokum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ali berpendapat bahwa tindak pidana pencucian uang, bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan kejahatan lanjutan yang hanya mungkin dilakukan sebagai kelanjutan dari kejahatan pokok yang dilakukan seseorang dalam mendapatkan uang tersebut. Karena itu, tanpa pernah membuktikan bahwa ada kejahatan pokok (predicate crime) yang dilakukan, maka mustahillah dapat menuntut dan mengadili seseorang dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang;
Penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang juga tidak dapat dilakukan bersamaan dengan tuntutan kejahatan pokok, karena hal itu berakibat bahwa tuntutan terhadap tindak pidana lanjutan (pencucian uang) dilakukan di atas dugaan atau asumsi bahwa kejahatan pokok telah terbukti dilakukan. Padahal, melakukan suatu tuntutan tidak mungkin dilakukan hanya atas dasar asumsi tapa alat bukti yang kuat dan meyakinkan. Jika keadaan seperti ini dibiarkan terus-menerus maka ketidakadilanlah yang akan tercipta dalam kehidupan bernegara kita. Apalagi, penuntutan terpisah atau bersamaan antara pidana pokok dengan kejatahan lanjutan, yang dibarengi dengan pembentukan opini dalam masyarakat, berpotensi untuk menjatuhkan putusan bersalah pada orang yang didakwa. Cara-cara seperti ini tiodak boleh dipertahankan dalam sebuah negara hukum;"
Yunus Husein:
"Kemudian yang kedua, sesuai dengan Pasal 183 KUHP dimana kita menganut pembuktian yang namanya negatief wettelik. Di sini diperlukan adanya tindak pidana, ada dua alat bukti yang cukup, terdakwa memang bersalah, dan hakim harus yakin bahwa terdakwalah yang melakukan, yang bersalah dan barulah dapat dihukum. Kalau seandainya untuk memeriksa perkara TPPU harus menghukum dulu tindak pidana pelaku tindak pidana asal, akan sangat lama, satu kasus bisa lebih setahun, belum banding, belum kasasi, belum PK, dan seterusnya. Hampir bisa dipastikan kalau untuk memeriksa perkara TPPU menunggu perkara tindak pidana asal dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan prinsip negatief wettelik yang ada dalam 183 KUHP tidak mungkin perkara TPPU akan banyak yang diperiksa oleh para penegak hukum."
Eva Achjani Zulfa:
"Bahwa mengenai perlu tidanya dibuktikan pada dasarnya ini sangat bergantung kepada kebutuhan pembuktian, rasanya bukan bagian dari perumusan Undang-Undang yang menjadi masalah. Kita tahu bahwa variasi yang muncul dari kasus-kasus tindak pidana pencucian uang in sangat beragam, ada yang kita sebut-sebut sebagai pelaku predicate crime adalah juga pelaku pencucian uang, atau pelaku pencucian uang yang bukan merupakan pelaku predicate crime, atau bahkan mereka sebagai peserta delik yang dalam konsep hukum pidana peserta delik belum tent orang yang memenuhi unsur delik. Apakah unsur predicate crime-nya atau unsur dari tindak pidana asalnya? Tetapi mereka bekerja bersama-sama orang ini untuk mewujudkan delik.Oleh karena itu, ahli katakan bahwa kebutuhan untuk membuktikan tindak pidana asal atau tidak sangat bergantung kepada rumusan pasal apa yang didakwaan kepada seseorang dan apakah fakta itu adalah fakta yang menentukan untuk membuktikan unsur yang didakwakan tersebut. Oleh karena itu, seperti tadi yang dikemukan oleh Yunus Husein,ahli ingin menguatkan di sini bahwa di dalam putusan-putusan dan yurisprudensi yang ada di dalam Mahkamah Agung, kebanyakan para penuntut umum meletakkan orang-orang ini sebagai peserta delik, dalam konteks peserta delik dapat membuka berbagai Literatur Yang Yan Ralamintang, Remmelink, Utrecht, dapat saja mereka adalah orang yang bukan memenuhi unsur delik tetapi mereka bekerja sama secara fisik, mereka dibuktikan sebagai orang yang bekerja sama secara sadar untuk mewujudkan delik, atau mereka yang menyuruh melakukan, atau mereka yang membantu melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, dalam variasi-variasi tindak pidana semacam in kalau kemudian kata harus atau wajib dibuktikan terlebih dahulu ahli kira menjadi tidak tepat, terkait dengan penegakan hukumdan dalam konteks penegakan hukum tadi ahli kira Pasal 69 Undang-Undang TPPU harus dilihat sebagai sat mekanisme yang sebetulnya justru memberikan keseimbangan dan keadilan dalam proses penegakan hukum, sehingga tidak dapat dinyatakan sebaliknya."
Saldi Isra:
"Demi efektivitas penegakannya, sejumlah norma yang dirumuskan di dalam ketentuan. jika dilihat secara kasat mata terlihat seperti fleksibel (mengandung ketidakpastian), namun jika dipelajari dan ditelaah secara lebih serius norma tersebut sebetulnya tetap menjamin adanya kepastian hukum bagi setiap orang yang dituntut berdasarkan norma dimaksud. Contohnya ketentuan Pasal 69 U TPPU yang menyatakan, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Sebagian pihak menilai, ketentuan tersebut mendistorsi ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU, sehingga menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum dan potensial untuk disalahgunakan. Namun, jika ketentuan Pasal 69 U TPPU dipahami menggunakan pendekatan tafsir sistematis dengan ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU serta pendekatan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak ada yang salah dengan rumusan Pasal 69 UU TPPU maupun rumusan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU ini. Sebab, penggunaan frasa "patut diduganya" dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU memang tidak mengharuskan adanya pembuktian terlebih dahulu terhadap tindak pidana asal. Sebab, yang akan dibuktikan adalah apakah unsur "yang diketahuinya atau patut diduganya" terbukti atau tidak. Di mana, pembuktian unsur tersebut tidak saja bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan dari terdakwa, melainkan juga berdasarkan atas bukti-bukti yang dihadirkan kehadapan persidangan dan pembuktian terbalik (terhadap kepemilikan harta bukan kesalahan) yang mesti dilakukan terdakwa berdasarkan Pasal 77 UU TPPU."
Pendapat MK Dalam Pertimbangan Hukumnya Terkait Pasal 69:
"Menimbang bahwa mengenai tindak pidana pencucian uang, yang menurut Pasal 69 UU 8/2010 tidak walib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, yang oleh Pemohon di moon supaya tindak pidana asalnya wajib dibuktikan terlebih dahulu, menurut Mahkamah andaikata pelaku tindak pidana asalnya meninggal dunia berarti perkaranya menjadi gugur, maka si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut sebab harus terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya. Adalah suatu ketidakadilan bahwa seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu. Rakyat dan masyarakat Indonesia akan mengutuk bahwa seseorang yang nyata-nyata telah menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang lalu lepas dari jeratan hukum hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu, namun demikian tindak pidana pencucian uang memang tidak berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannva dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang. Meskipun tidak persis sama dengan tindak pidana pencucian uang dalam KUHP telah dikenal tindak pidana penadahan (vide Pasal 480 KUHP) yang dalam praktiknya sejak dahulu tindak pidana asalnya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;"
Dissenting Opinion dari Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati:
Terdapat beberapa alasan-alasan dissenting opinion terhadap beberapa pasal Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) dan Pasl 69, namun yang dikutip disini khusus mengenai Pasal 69, sebagai berikut:
"Selanjutnya, kata tidak dalam Pasal 69 tidak bersesuaian dan dapat ditafsirkan dengan makna yang justru bertentangan dengan bunyi dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU 8/2010, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa untuk dapat seseorang dituntut dengan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka harta kekayaan itu harus merupakan hasil dari salah satu atau beberapa tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence), dengan kata lain tidak ada tindak pidana pencucian uang apabila tidak ada tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence). Jadi, apabila seseorang didakwa dengan tindak pidana pencucian uang, tidak mengacu atau tidak berdasar pada telah terjadi dan terbuktinya tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence) adalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke-3 huruf c dan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dipertegas lagi oleh M. Yahya Harahap, S.H. dalam "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan" (hal. 34), yang menyatakan bahwa: "Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap sehingga asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) harus dijunjung tinggi oleh sebuah negara hukum dan demokratis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dengan demikian seharusnya permohonan Pemohon yang berkaitan dengan keharusan adanya putusan tindak pidana asal sebelum melakukan proses terhadap tindak pidana pencucian uang dikabulkan."
Menurut saya semua pendapat Ahli, Pendapat MK dan dissenting opinion tersebut di atas sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut, meskipun putusan MK bersifat final & binding namun tidak ada salahnya apabila hal ini kembali dibahas khususnya mengenai Pasal 69 UU TPPU melalui legislative review di DPR RI.
Sumber: Putusan MK Nomor: 77/PUU-XII/2014