Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang pernah saya posting di tahun 2017 (Money Laundering Part 1).
Berhubung saat ini sedang ramai beredar penahanan IK dan DS yang kabarnya kepolisian menerapkan pasal mengenai pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sehingga aset-aset tersangka disita dan pihak-pihak yang pernah terima uang dari tersangka dipanggil, maka saya menjadi tertarik untuk kembali membahas mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sempat tertunda sejak Part 1 tahun 2017 lalu.
Jika pada tulisan sebelumnya langsung menguraikan unsur dalam pasal mengenai TPPU dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kali akan diulas mulai dari asal muasal istilah money laundering.
Awal Mula Muncul Istilah Money Laundering.
Pencucian uang sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat internasional. Istilah money laundering berasal dari kegiatan para mafia yang membeli perusahaan pencucian pakaian (laundromat) sebagai tempat menginvestasikan atau mencampur hasil kejahatan mereka yang sangat besar dari hasil pemerasan, penjualan illegal minuman keras, perjudian dan prostitusi. Istilah tersebut merujuk kepada Tindakan mafia obat bius, narkotika, perjudian dan prostitusi, yang memproses uang hasil kejahatannya untuk dicampur dengan bisnis yang sah, seperti yang dilakukan oleh AL Capoen pada tahun 1930-an. Tindakan ini bertujuan agar uang hasil kejahatan tersebut menjadi bersih atau tampak sebagai uang yang sah. Karena pada waktu itu belum ada kriminalisasi pencucian uang, maka perbuatan menyembunyikan hasil kejahatan tersebut dipandang sebagai Tindakan untuk mengelak dari kewajiban pajak (tax evasion).
Pada awal mula dipikirkan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang yaitu pada tahun 1980-an, uang yang dicuci diperkirakan berkisar antara 600 miliar dollar sampai satu triliun dollar pertahunnya, dan Sebagian besar berasal dari perdagangan gelap narkotika, yang pada umumnya dilakukan dengan menggunakan sarana Lembaga keuangan.
Pada Perkembangannya pencucian uang tidak hanya untuk menanggulangi narkotika tetapi juga untuk berbagai kejahatan, terlebih lagi untuk kejahatan terorganisasi (organized crime).
Kekhawatiran masyarakat internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Rezime to Combat Money Laundering (Rezim Internasional untuk memberantas pencucian uang). Rezim ini dibentuk berangkat dari kegagalan masyarakat internasional dalam memberantas kejahatan yang berkaitan dengan segala macam peredaran obat bius dengan segala jenisnya. Oleh karenanya, masyarakat internasional melakukan langkah inovatif dalam pemberantasannya, yaitu strategi yang tidak diarahkan pada kejahatan berkaitan dengan obat biusnya, tetapi diarahkan pada upaya memberantas hasil kejahatan narkotika dan psikotropika melalui ketentuan anti pencucian uang. Strategi ini dilatarbelakangi oleh alasan bahwa kalau penjahat ini dihalangi untuk dapat menikmati hasil atau buah dari kejahatannya maka motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna.
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, pengelakan pajak, judi, penyelundupan dan lain-lain dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan dengan aman (Sarah N Welling: 1989).
Definisi tindak pidana pencucian uang dalam rumusan peraturan-peraturan di berbagai negara memang tidak sama persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu sama yaitu bahwa tindak pidana pencucian yang adalah suatu perbuatan terkait dengan menikmati atau mempergunakan hasil kejahatan (who ever enjoy his fruit of crime). Jadi, yang paling penting adalah ada hasil kejahatan (the proceed of crime) dan ada perbuatan menikmati atau menggunakan hasil kejahatan tersebut (money laundering offence).
Dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal (predicate offence) yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan “perbuatan apapun, seperti ditransfer, dibelanjakan, dihadiahkan, ditukarkan, dan lain-lain”, yang mana perbuatan inilah yang namanya tindak pidana pencucian uang. Dua hal inilah yang menjadi princip adanya tindak pidana pencucian uang, yaitu predicate offence dan perbuatan menikmati (mempergunakan) hasil kejahatan (proceed of crime)
Proses Pencucian Uang Modern.
Pada umumnya, proses pencucian uang modern terdiri dari tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration. Ketiga langkah itu dapat terjadi dalam waktu bersamaan di satu transaksi saja atau dalam beberapa kegiatan transaksi yang berbeda. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menempatkan dana illegal ke dalam system keuangan dengan tujuan agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak yang berwenang.
1. Placement
Placement merupakan tahap paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uang yang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan kecurigaan dan akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan. Misalnya menempatkan uang hasil kejahatan dalam waktu tertentu yang diperkirakan aman untuk sementara, umpamanya menyimpan tunai di bank, asuransi, atau untuk membeli rumah, kapal, perhiasan. Pada tahap inilah yang paling mudah dideteksi karena uang hasil kejahatan berhubungan langsung dengan sumbernya.
Bagi para pelaku, tahap ini paling rentan untuk dicurigai petugas, dan disini pula pelaku mendapat rintangan terbesar menghadapi tahap berikutnya, yaitu bagaimana memasuki tahap layering. Karena pada tahap placement dianggap sebagai langkah paling mudah untuk melakukan pendeteksian maka berbagai negara memusatkan perhatian dalam pemberantasan pencucian uang pada tahap ini. Brdasarkan hal itu peraturan perundang-undangan anti pencucian uang, mewajibkan pelaporan dan langkah untuk mendeteksi asal dana yang tidak wajar misalnya pada bank, perusahaan asuransi dan perusahaan real estate.
2. Layering
Layering atau disebut sebagai tahap pelapisan adalah tahap kedua di mana pelaku membuat transaksi-transaksi yang diperoleh dari dana illegal ke dalam transaksi yang lebih rumit dan berlapis-lapis serta berangkai yang dilindungi oleh berbagai bentuk anonimitas untuk tujuan menyembunyikan sumber dari uang haram tersebut. pada tahap ini biasanya telah melibatkan wire transfer dengan sejumlah rekening yang ditransfer ke berbagai negara dalam upaya menyembunyikan asal usul dana. Selain itu, dikatakan tujuan layering unguk menghindari audit trail. Sebagai contoh menggunakan wire transfer yang dikirim ke bank luar negeri, dalam tahap ini lebih sulit untuk dilacak karena selalu ada intervensi mekanisme bank internasional.
3. Integration
Integration adalah tahap ketiga atau terakhir di mana pada tahap ini pelaku memasukkan kembali dana yang telah di layering ke dalam transaksi yang sah, dan (seakan-akan) sudah tidak ada hubungannya lagi dengan asal-usul kejahatan. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan, yang mencakup penjualan kembali saham, rumah, kapal dan perhiasan (emas dan berlian) tersebut. Ada banyak cara untuk melakukan integration namun yang sering digunakan adalah metode yang berasal dari tahun 1930-an yaitu metode loan-back atau metode loan default. Metode loan-back meliputi simpanan berjumlah besar yang biasanya disimpan di bank luar negeri. Kemudian bank membuat pinjaman dari jumlah uang yang telah disimpan. Uang yang didapatkan dari pinjaman ini dapat digunakan dengan bebas sejak uang itu dapat dilacak sebagai uang yang berasal dari transaksi yang sah.
Bersambung…. di Part 3 (akan membahas bagaimana agar terhindar dari jerat pidana TPPU)
Sumber:
Yenti Ganarsih, 2017, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di Indonesia, Cet. Ke-4, Depok: PT. Rajagrafindo Persada.