Pembatasan lalu-lintas kendaraan bermotor roda empat atau
lebih di beberapa ruas jalan di Jakarta dengan sistem ganjil-genap sebagai
wujud dari upaya untuk mengurangi kemacetan yang selama ini terjadi di Jakarta.
Sistem ganjil-genap ini merupakan pengganti dari sistem 3 in 1 yang dirasa
tidak efektif dalam mengantisipasi kemacetan di Jakarta.
Dasar hukum dari sistem ganjil-genap di Jakarta adalah
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 tahun 2018
Tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap. Pada mulanya sistem
ganjil genap hanya dibeberapa ruas jalan yaitu (Pasal 1 Pergub DKI 155/2018):
a. Jalan Medan Merdeka Barat;
b. Jalan M.H. Thamrin;
c. Jalan Jenderal Sudirman;
d. Sebagian Jalan Jenderal S. Parman
(mulai dari simpang Jalan Tomang Raya sampai dengan simpang Jalan KS. Tubun);
e. Jalan Gatot Subroto;
f.
Jalan
Jenderal M.T. Haryono;
g. Jalan Jenderal D.I. Panjaitan;
h. Jalan Jenderal Ahmad Yan, dan
i.
Jalan
H.R. Rasuna Said.
Sejak bulan September 2019 terjadi perluasan berdasarkan Peraturan
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 tahun
2018 Tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap., sehingga sistem
ganjil-genap diperluas yaitu (Pasal 1 Pergub DKI 88 /2019):
a. Jalan Pintu Besar Selatan;
b. Jalan Gajah Mada;
c. Jalan Hayam Wuruk;
d. Jalan Majapahit;
e. Jalan Medan Merdeka Barat;
f. Jalan M.H. Thamrin;
g. Jalan Jenderal Sudirman;
h. Jalan Sisingamangaraja;
i. Jalan Panglima Polim;
j. Jalan Fatmawati mulai dari Simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan Simpang Jalan TB Simatupang;
k. Jalan Suryopranoto;
l. Jalan Balikpapan;
m. Jalan Kyai Caringin;
n. Jalan Tomang Raya;
o. Jalan Jenderal S. Parman mulai dari Simpang Jalan Tomang Raya sampai dengan Jalan Gatot Subroto;
p. Jalan Gatot Subroto;
q. Jalan M.T. Haryono;
r. Jalan H.R. Rasuna Said;
s. Jalan D.I. Panjaitan;
t. Jalan Jenderal A. Yani mulai dari Simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai dengan Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan;
u. Jalan Pramuka;
v. Jalan Salemba Raya Sisi Barat;
w. Jalan Salemba Raya Sisi Timur mulai dari Simpang Jalan Paseban Raya sampai dengan Simpang Jalan Diponegoro;
x. Jalan Kramat Raya;
y. Jalan St. Senen; dan
b. Jalan Gajah Mada;
c. Jalan Hayam Wuruk;
d. Jalan Majapahit;
e. Jalan Medan Merdeka Barat;
f. Jalan M.H. Thamrin;
g. Jalan Jenderal Sudirman;
h. Jalan Sisingamangaraja;
i. Jalan Panglima Polim;
j. Jalan Fatmawati mulai dari Simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan Simpang Jalan TB Simatupang;
k. Jalan Suryopranoto;
l. Jalan Balikpapan;
m. Jalan Kyai Caringin;
n. Jalan Tomang Raya;
o. Jalan Jenderal S. Parman mulai dari Simpang Jalan Tomang Raya sampai dengan Jalan Gatot Subroto;
p. Jalan Gatot Subroto;
q. Jalan M.T. Haryono;
r. Jalan H.R. Rasuna Said;
s. Jalan D.I. Panjaitan;
t. Jalan Jenderal A. Yani mulai dari Simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai dengan Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan;
u. Jalan Pramuka;
v. Jalan Salemba Raya Sisi Barat;
w. Jalan Salemba Raya Sisi Timur mulai dari Simpang Jalan Paseban Raya sampai dengan Simpang Jalan Diponegoro;
x. Jalan Kramat Raya;
y. Jalan St. Senen; dan
z. Jalan Gunung Sahari.
Pembahasan pada kali ini akan
difokuskan pada landasan atau dasar penegakan hukum bagi pengendara yang melanggar atauran sistem
ganjil-genap ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa penegakan Peraturan Daerah
atau Peraturan Kepala Daerah dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya sebagaimana dalam Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja mengatur:
Pasal 5
Satpol PP mempunyai tugas:
a.
menegakkan Perda dan Perkada;
b.
menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketenteraman; dan
c.
menyelenggarakan
pelindungan masyarakat.
Dengan ketentuan
tersebut maka timbul pertanyaan, 1) mengapa bukan Satpol PP yang menegakkan peraturan tentang sistem Ganjil-Genap?, Jika berdasarkan ketentuan PP 16/2018 Satpol
PP yang berwenang menegakkan Perda/Perkada (termasuk Pergub). 2) Mengapa Polisi Lalu
Lintas (Polantas) yang melakukan penindakan atas pelanggaran sistem
ganjil-genap?
Menjawab
pertanyaan tersebut di atas, maka harus dilihat secara menyeluruh mengenai
peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas dan peraturan terkait lainnya.
Terkait pertanyaan nomor 1 akan dijawab pada akhir tulisan ini, jadi pembahasan pertama adalah terkait dengan kewenangan Polantas dalam menindak pelanggaran peraturan sistem ganjil-genap.
Berdasarkan Pasal
106 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), menyebutkan:
(4) Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:
a.
rambu perintah atau rambu larangan;
b.
Marka Jalan;
c.
Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas;
d.
gerakan Lalu
Lintas;
e.
berhenti dan
Parkir;
f.
peringatan dengan
bunyi dan sinar;
g.
kecepatan
maksimal atau minimal; dan/atau
h.
tata cara
penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.
Selanjutnya berdasarkan Pasal
287 ayat (1) UU LLAJ:
Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4)
huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda
paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, jelas bahwa pelanggaran lalu lintas merupakan suatu tindak pidana pelanggaran, maka untuk penjatuhan sanksi pidana tersebut melalui peradilan (Lihat Pasal 267 UU LLAJ).
Adapun kewenangan
Polantas dalam melakukan penindakan pelanggaran lalu lintas tersebut berdasarkan
ketentuan Pasal 13 s/d 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jo. pasal 260 s/d 261 UU LLAJ.
Lalu bagaimana
dengan Pergub Janjil-Genap?, Pergub tersebut didasari oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis
Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Di dalam PP 32/2011 tersebut memuat
kewenangan Pemerintah Daerah mengatur
Rekayasa Lalu lintas terkait pembatasan lalu lintas kendaraan. Implementasinya (di
DKI Jakarta) adalah dengan dibuatnya Pergub DKI 155/2018 Jo. Pergub DKI
88/2019. Sebagai pelaksanaan dari Pergub tersebut, Dinas Perhubungan DKI
Jakarta memasang rambu lalu lintas terkait kawasan ganjil-genap (Pasal 7 Pergub
DKI 155/2018). Jadi, pembatasan ganjil-genap berdasarkan Pergub DKI 155/2018 Jo. Pergub DKI 88/2019 tersebut menjadi rambu larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 ayat (4) huruf a UU LLAJ.
Dengan demikian,
Polantas berwenang melakukan penindakan atas pelanggaran lalu lintas (sistem ganjil-genap)
berdasarkan UU Kepolisian dan UU LLAJ, karena sistem ganjil-genap menjadi “rambu larangan” yang
diatur dalam UU LLAJ.
Jawaban atas pertanyaan mengapa bukan Satpol PP yang menegakkan peraturan sistem ganjil-genap?
Sehubungan dengan kewenangan Satpol PP dalam menegakkan perda/perkada, di dalam Pasal 255 Ayat (2) huruf a UU No. 23 Tahun 2014 mengatur sebagai berikut:
(2) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:
a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
Dalam Penjelasan pasal 255 Ayat (2) huruf a:
Yang dimaksud dengan “tindakan penertiban non-yustisial” adalah tindakan yang dilakukan oleh polisi pamong praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan.
Sebagaimana yang telah diuraian di atas bahwa Pergub ganjil-genap menjadi "rambu larangan" yang diatur dalam UU LLAJ, sehingga pelanggaran atas sistem ganjil-genap merupakan pelanggaran lalu lintas. Oleh karena pelanggaran lalu lintas ditegakkan melalui proses peradilan, maka Satpol PP tidak berwenang menegakkan peraturan sistem ganjil-genap tersebut meskipun lahir dari Pergub.
Sumber:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
32 tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen
Kebutuhan Lalu Lintas.
- Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
- Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 tahun 2018 Tentang
Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap.
- Peraturan
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 tahun
2018 Tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap.