Tanpa basa-basi berikut adalah asas-asas dalam hukum waris Islam:
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum waris Islam mengandung arti pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa digantungkan dengan kehendak pewaris atau ahli warisnya. Asas Ijbari dapat dilihat dari segi: pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian waris dari harta peninggalan ibu, ayah, dan keluarga dekatnya, dari kata nasyibun (bagian) itu dpat diketahui dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian ahli waris. Oleh karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum dia meninggal dunia.
Unsur ijbari ini juga dapat dilihat dari jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris, istilah ini sering disebut dengan furudhul muqaddarah yang bermakna bahwa apa ditentukan dan telah diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh seorang yang beragama Islam. Asas ijbari ini mengandung makna paksaan, jadi asas ini menekankan bahwa segala sesuatu yang telah Allah tetapkan tentang hukum waris, baik itu penentuan ahli waris ataupun jumlah warisan yang harus diterima adalah harus sesuai dengan ayat-ayat Allah tentang hukum waris. Sebagai seorang yang beragama Islam wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di dalam hukum waris Islam. Asas ini juga dikuatkan dengan dasar hukum waris pada ayat 13 surah An-nisa, ayat ini menegaskan bahwa ketentuan waris adalah ketentuan-ketentuan dari Allah yan harus dilaksanakan Ole hamba-hambaNya. Ayat in juga mengandung makna tentang kewajiban untuk menaati aturan-aturan Allah, yaitu aturan kewarisan Islam, dan barang siapa yang taat niscaya janji Allah adalah berupa balasan keberuntungan, yaitu surga.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum waris Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak waris dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Pada prinsipnya asas ini menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
3. Asas Individual
Asas individual dalam hukum waris Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
Jika pembagian menurut asas individual ini terlaksana, setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya bia dia telah mempunyai kemampuan untuk bertindak. Apabila belum, maka untuk mengurus hartanya menurut ketentuan-ketentuan perwaliannya. Wali tersebut bertanggung jawab mengurus harta orang yang belum dapat bertindak mengurus hartanya, memberikan pertanggungjawaban dan mengembalikan harta itu bila pemiliknya telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus miliknya yang selama ini berada dibawah perwaliannya.
4. Asas Keadilan Berimbang
Keadilan dalam hukum waris Islam dapat diartikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem waris Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karen itu perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan keluarganya, yaitu mencukupi keperluan hidup untuk dirinya, istrinya dan seluruh anggota keluarganya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiba agama yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah istri mampu ataukah tidak, tetap saja menurut agama laki-laki yang mempunyai kewajiban nafkah tersebut.
Bahwa dalam praktik kehidupan masyarakat sekarang ini ada beberapa keluarga yang mana kaum perempuan menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi sebuah keluarga, ini merupakan kenyataan sosiologis yang terjadi bukan karena tuntutan apalagi tuntutan hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena kerelaan kaum perempuan itu sendiri dalam rangka kerja sama keluarga yang sama sekali tidak dilarang dalam hukum Islam. Hanya saja partisipasi aktif kaum perempuan dalam menyejahterakan ekonomi keluarga, tidak secara otomatis dengan sendirinya harus mengubah hukum waris Islam dengan menganut asas 1:1. Jadi meskipun perempuan menjadi tulang punggung keluarga maka bagian waris perempua tidak akan berubah.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam telah menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta telah meninggal dunia. Asas ini menggambarkan bahwa hukum waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal asas dasar wasiat yang dibuat saat pewaris masih hidup.
6. Asas Integrity (ketulusan)
Asas ini adalah yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk menaatinya karena terikat dengan aturan tang diyakini kebenarannya.
7. Asas Ta'abudi (Penghambaan Diri)
Maksud dari asas ini adalah pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt.
8. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan)
Asas ini adalah hak-hak kebendaan yang artinya hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau Istri, jabatan keahlian, dalam suatu ilmu tidak dapat diwariskan.
9. Asas huququn Thaba'iyah (Hak-hak Dasar)
Pengertian asas ini adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia. Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seorang yang sedang sakit menghadapi kematian, sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, maka baik bayi yang baru lahir ataupun orang yang sedang sakit keras tadi mereka berhak atas harta warisan, begitu juga suami istri yan belum bercerai walaupun berpisah tempat tinggalnya maka pasangan ini masih dipandang cakap untuk mewarisi harta warisan.
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi semua harta warisan hingga tidak tersisa lagi adalah makna dalam asas ini.
Demikian asas-asas hukum waris Islam, semoga bermanfaat.
Sumber: Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani. 2015. Hukum Waris Islam. Jakarta: Pustaka Yustisia