Kamis, 06 Oktober 2016

Tidak Bayar Utang, Wanprestasi atau Penipuan?

http://www.lawctopus.com/clatapult/wp-content/uploads/2015/11/statutory.jpg
sumber gambar: lawctopus.com
Sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, dan manusia selalu hidup bersama manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang saling membutuhkan satu sama lain, hal ini termasuk dalam
persoalan kebutuhan hidup, saat seseorang membutuhkan sesuatu bantuan dari orang lain dan harus meminjam kepada orang lain, bisa disebut dengan
pinjam-meminjam ataupun suatu kerjasama timbal balik, atau kondisi  lain yang menimbulkan utang-piutang sehingga terjadi hubungan hukum. Di mana ada masyarakat di situ ada hukum, ungkapan yang demikian ini memang benarlah nyata, karena di setiap kelompok masyarakat di mana seseorang berinteraksi dengan orang lain maka kemudian akan timbul hubungan hukum yang diatur.
Persoalan pinjam-meminjam dan  hutang-piutang, sudah menjadi bagian yang “lumrah” dalam kehidupan manusia, dari hutang-piutang kemudian menjadi masalah baru jika yang berhutang lambat dalam membayar hutang, tidak mampu membayar hutang, tidak menepati janjinya ataupun memang sengaja tidak mau membayar hutang. Konsekuensinya adalah orang yang berpiutang akan dirugikan apabila orang yang berhutang tidak membayar hutangnya, dan dari segi hukum perikatan disebut dengan wanprestasi. Dalam hukum perdata orang yang memberi hutang atau orang yang berpiutang disebut Kreditur, dan orang yang berhutang disebut Debitur.
Apabila orang yang berhutang (debitur) tidak menepati janjinya untuk membayar hutang maka hal tersebut bisa dinamakan Wanprestasi. Menurut
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian di jelaskan bahwa Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam:
  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melakukan apa yang di janjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap Kelalaian atau kealpaan debitur, diancam beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu: Pertama: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi; Kedua: pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; Ketiga: peralihan risiko; Keempat: membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. (Subekti:1990).
Selain membawa masalah hutang-piutang ke pengadilan untuk dilakukan gugatan ganti rugi secara perdata, tidak sedikit juga masalah hutang-piutang yang masuk ke kantor polisi, yakni kreditur melaporkan debitur yang tidak menepati janjinya atau tidak membayar hutangnya Kepolisian dengan dugaan pidana penipuan.
Masalah tersebut masuk dalam ranah hukum pidana yakni penipuan apabila terdapat perbuatan dengan niat jahat yang memenuhi unsur-unsur pasal 378 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Jika di konstruksikan syarat dan akibat hukum dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Akibat Hukum (AH): Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
Syarat 1 (S1): orang tersebut dengan sengaja untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan  melawan hukum.
Syarat 2a (S2a): dengan memakai nama palsu
Syarat 2b (S2b): dengan martabat palsu
Syarat 2c (S2c): dengan tipu muslihat
Syarat 2d (S2d): dengan rangkaian kebohongan
Syarat 3 (S3): menggerakkan orang lain
Syarat 4a (S4a): untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya
Syarat 4b (S4b): supaya memberi hutang
Syarat 4c (S4c): supaya menghapus piutang
Agar seorang yang tidak membayar hutang itu dapat dipidana karena penipuan maka empat unsur syarat kumulatif itu harus terpenuhi yaitu syarat 1,2,3, dan 4. Adapun huruf a,b,c,d pada unsur tersebut sifatnya opsional, jika sudah terpenuhi salah satunya maka sudah terpenuhi syaratnya, sehingga tidak harus terpenuhi seluruh a,b,c,d cukup 1,2,3,4 maka perbuatan tersebut bisa dipidana apabila tidak ada alasan penghapus pidana. Singkatnya dari rumusan di atas adalah AH=S1+S2+S3+S4.
Namun demikian apabila seseorang yang tidak membayar hutang tersebut tidak memenuhi unsur-unsur pasal sebagaimana diuraikan di atas, melainkan seseorang tidak membayar hutang karena tidak mampu maka hal tersebut bukanlah masuk ranah hukum pidana, dan seseorang tersebut tidak dapat dipidana karena penipuan. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”.
Jadi, jika seorang debitur yang tidak membayar hutang karena lalai, sehingga tidak menepati janji atau tidak mampu  maka hal tersebut adalah murni perbuatan dalam hukum perdata yang dapat dilakukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri karena Wanprestasi, namun apabila debitur tersebut memang sudah sengaja memiliki niat jahat untuk menipu atau tidak mengembalikan hutangnya sehingga memenuhi unsur-unsur penipuan sebagaimana rumusan di atas maka perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana dan kreditur bisa melaporkan debitur ke Kepolisian.
Tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat bisa mengerti konsekuensi dari perbuatan pinjam-meminjam sehingga apabila terjadi suatu masalah pihak yang dirugikan dapat mengambil langkah hukum yang tepat setelah menganalisanya, dan tidak langsung membawanya ke ranah pidana dengan melaporkan ke Kepolisian sebagai tindak pidana penipuan.
Sumber:
Prof. Subekti, S.H, Hukum Perjanjian, 1990, PT Intermasa, Jakarta, Cetakan ke XII
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia