Pada kesempatan kali ini penulis ingin sedikit mengupas namun tidak secara tuntas persoalan korupsi dan kemiskinan yang terjadi dalam negara demokrasi dari pandangan penulis sendiri. Tulisan ini penulis rangkum berdasarkan kajian dan pengamatan penulis dari periode ke periode pergantian rezim pemerintahan pasca reformasi dan penulis sengaja tidak menyajikan data dari sumber-sumber sebagai referensi seperti biasanya karena tulisan ini bentuk dari ungkapan yang dituangkan melalui tulisan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan yang selalu menjadi
topik utama setiap tahunnya digembor-gemborkan di media massa tidak lain adalah
korupsi dan juga potret kemiskinan yang diakibatkan oleh korupsi. Memang ada
banyak aspek yang
menyebabkan terjadinya korupsi dan kemiskinan, namun pada tulisan ini penulis membatasinya dalam lingkup sisklus yang terjadi dalam negara demokrasi. Mungkin bisa kita sebut korupsi yang tersistem dan terstruktur dalam sistem demokrasi yang mengakibatkan kemiskinan struktural.
menyebabkan terjadinya korupsi dan kemiskinan, namun pada tulisan ini penulis membatasinya dalam lingkup sisklus yang terjadi dalam negara demokrasi. Mungkin bisa kita sebut korupsi yang tersistem dan terstruktur dalam sistem demokrasi yang mengakibatkan kemiskinan struktural.
Demokrasi berasal dari kata demos dan cratos yakni
kekuasaan oleh rakyat, jadi disini rakyat yang berkuasa dalam mengambil setiap
kebijakan untuk rakyat itu sendiri, kelihatannya memang cukup manis dan sangat
baik nan indah sekali. Hal tersebut tidak seperti realitanya, sehingga antara
nama dengan rasa itu bertolak belakang. Karna bagaimana mungkin menyatukan
semua keinginan dan suara rakyat yang sebanyak itu. Zaman dahulu mungkin saja
bisa rakyat dikumpulkan dalam satu tempat dan kemudian menyamakan pendapat
dalam mengamil kebijakan seperti yang dilakukan di Athena Yunani, karna rakyat
zaman dahulu tidak sebanyak zaman sekarang, sehingga sekarang dikenal lah yang
namanya demokrasi perwakilan, dimana suara-suara aspirasi keinginan rakyat
diwakilkan melalui dewan perwakilan rakyat.
Bagaimana dengan sistem yang semanis ini namun justru banyak
sekali kasus-kasus korupsi dan juga kemiskinan yang merajalela? Yah bagaimana
tidak, mari kita telusuri sistemnya secara bottom-up
dari bawah keatas. Seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar tersebut terlihat ada rakyat miskin dan rakyat kaya,
disini penulis bagi menjadi 2 kelas saja meski pada umumnya dibagi menjadi 3 kelas yakni kelas atas, menengah dan bawah.
Disini rakyat miskin memiliki suara yang cukup besar dan cukup mudah
dipengaruhi dibandingkan suara rakyat yang kaya. Rakyat miskin butuh makan, untuk
membeli makan butuh uang, makanannya tidak yang mahal-mahal jadi rakyat miskin
tidak butuh uang yang banyak. Sehingga partai politik yang ingin meraup suara
banyak dalam pemilihan umum tidak terlalu besar untuk melakukan money politik. Beda
halnya dengan rakyat yang kaya dengan pendidikan yang tinggi maka tidak mungkin
juga mau diberi uang 50 ribu untuk mencoblos. Pengusaha-pengusaha kaya atau di dalam
gambar penulis sebut pemodal banyak yang bermain di partai politik untuk
melancarkan kepentingan usahanya. Anggaplah pemodal “berinvestasi” di partai
politik untuk modal partai meraup suara banyak agar menduduki kekuasaan baik di
legislatif maupun pada eksekutif.
Kebijakan eksekutif sudah bisa kita prediksi akan mudah
dipengaruhi oleh para pemodal untuk melancarkan kepentinganya itu karena berkat
dana dari pemodal yang mana dana itu untuk membeli suara-suara rakyat miskin
sehingga bisa menjadi pemegang kekuasaan. Seperti prinsip ekonomi yaitu dengan
modal yang sedikit untuk keuntungan yang banyak.
Kembali lagi bahwa demokrasi itu mahal, sehingga banyak
penguasa-penguasa pun harus balik modal atas uang yang telah banyak dikeluarkan
untuk memenangkan dalam proses pemilu jadi tidaklah heran banyak proyek-proyek
baik di tingkat pusat hingga daerah menjadi “proyek dalam proyek”.
Produk perundang-undangan pun menjadi banyak disisipi
titipan-titipan pemodal untuk melancarkan usahanya sehingga banyak produk perundang-undangan
yang inkonstitusional. Tidak lain tidak bukan adalah karena yang membentuk
perundang-undangan harus balas budi dan balik modal. Di situlah letak
korupsinya balas budi dan balik modal hingga suap menyuap pun juga terjadi.
Lalu bagaimana dengan lembaga yudikatif?
Petinggi-petinggi yudikatif diusulkan dari Presiden dan juga
dari DPR jadi sudah bisa terbaca akibatnya bagaimana. tidak jarang hakim-hakim
bisa juga “masuk angin” menghasilkan putusan yang cukup baik untuk para pemodal.
Karena sudah terstruktur dan sistematis.
Kemudian rakyat yang miskin tadi tetap dipelihara menjadi
miskin dan tetap terus miskin bahkan melahirkan miskin-miskin yang baru dan
berkembang biak menjadi banyak dan terus dijaga kemiskinannya itu oleh para
penguasa supaya bisa dimanfaatkan untuk digalang suaranya dibeli dengan murah
dan dibodohkan saja biar tetap mudah dibeli dengan murah suaranya, kalau di
buat sejahtera dan kaya nanti mampu untuk membiayai pendidikan, kalau sudah
mampu membiayai pendidikan nanti menjadi cerdas dan kalau sudah cerdas nanti
bisa melawan, itu akan sangat membahayakan kekuasaan dan sistem yang sudah didesain sedemikian rupa. Begitulah kemiskinan stuktural terjadi bukan karena rakyat yang ingin hidup miskin namun sistem lah yang memiskinan rakyat.
Indonesia ini sangat kaya, baik kaya akan sumber daya alam
maupun kaya akan sumber daya manusia. Semuanya melimpah ruah namun karna sudah
tersistem seperti yang penulis jabarkan diatas maka kekayaan alam itu tidak
bisa banyak dinikmati untuk kemaslahatan rakyat secara luas, hanya pemodal saja
yang meraup keuntungan dan merusak alam, penguasa mempersilahkan dan
memfasilitasinya, rakyat miskin jadi alatnya yang diberi upah sedikit karena
kebutuhannya juga sedikit.
Siklus ini terus berlangsung dan tidak pernah berhenti selama
tidak ada yang mau merubahnya, amatlah sulit untuk merubahnya karena kita
bagian dari pendukung sistem itu.