Sabtu, 07 Mei 2016

DILEMA PUTUSAN MK BERSIFAT FINAL & BINDING


Pasca reformasi 1998 banyak perubahan dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002 menimbulkan perubahan yang signifikan. Salah satu dari produk reformasi tersebut adalah dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 24C Undang-Undang Dasar. Kewenangan mahkamah konstitusi diantaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Yang cukup menarik untuk dibahas di sini adalah
yang mana putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (binding), menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir yang harus dijalankan, itu artinya tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan dari Mahkamah Konstitusi dan sudah secara otomatis putusanya berlaku sejak dibacakan.

Menurut penafsiran penulis sendiri bahwa putusan yang bersifat final dan mengikat ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan lembaga negara ini serta mewujudkan kepastian hukum. Sehingga kepastian hukum menjadi hal yang utama di samping dari keadilan dan kemanfaatan, begitulah sistem hukum yang berkiblat ke Eropa Kontinental. Konsekuensinya adalah faktor penegak hukum yang memang benar-benar harus bersih dan berintegritas agar dalam memutus perkara menjunjung keadilan yang substantif baik dari kebenaran formil dan kebenaran materiilnya. Sebab jika hal ini tidak terpenuhi maka akan terjadi kekacauan yang dilegitimasi yang dilegalkan oleh konstitusi.

Sebagai contoh adalah apabila dalam sengketa pemilukada salah satu calon gubernur berbuat curang yaitu dengan menyuap hakim konstitusi yang kemudian diputus menang sehingga jadilah pasangan gubernur dan wakil gubernur maka putusan tersebut harus dijalankan karna bersifat final dan mengikat. Di satu sisi hukum pidana ditegakan yang menjerat hakim yang memutus tersebut beserta gubernur yang terbukti berbuat curang dengan menyuap hakim tersebut. Meskipun terbukti bersalah dan terbukti bahwa putusan hakim tersebut tidak fair sehingga bertentangan dari rasa keadilan, namun kepastian hukum harus diutamakan karna putusannya bersifat final dan mengikat. Maka wakil gubernur akan naik menjadi gubernur menggantikan gubernur yang dipidana karna terbukti bersalah. Tentunya masyarakat akan menilai bahwa gubernur atau wakil gubernur yang terpilih adalah hasil dari kecurangan yang dilegitimasi yang dilegalkan oleh konstitusi.

Memang cukup menjadi dilema jika kita melihat yang demikian ini, antara kepastian dan keadilan nampaknya sulit untuk disatukan, selalu ada hal-hal yang menjadi potensi kecacatan dalam sistem hukum, dan kita harus memilihnya.


Bagi penulis sendiri, ini merupakan persoalan yang harus dipecahkan untuk menemukan dan menyempurnakan sistem hukum Indonesia agar menjadi lebih baik. Para pakar Hukum Tana Negara harus banyak berperan dalam penyempurnaan sistem hukum yang baik, kemudian para pakar hukum pidana juga harus memberikan solusi untuk meminimalisir terjadinya tidak pidana, dan pakar ilmu lain untuk mewujudkan sistem administrasi dan juga perilaku manusia menjadi taat terhadap aturan.


Barangkali sekelumit tulian ini akan menstimulus 
para ahli hukum, praktisi, dosen, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk membahas persoalan ini lebih lanjut dengan mengadakan diskusi dan seminar dan bersama-sama mencari solusinya.

Sumber: UUD 1945 amandemen