Banyak
persoalan hukum dalam bidang ketenagakerjaan yang selalu menarik untuk dibahas,
setiap tahunnya masalah ketenagakerjaan selalu menjadi trending topik baik
dikalangan Buruh, Pengusaha dan pemerintah. Ada tiga bidang hukum yang terdapat
dalam jiwa hukum ketenagakerjaan yaitu mulai dari hukum perdata yang mengatur
aspek perjanjiannya, hukum Administrasi Negara yang menyakut dari keputusan
ataupun kebijakan pemerintah terhadap persoalan ketenagakerjaan, dan hukum
pidana yang menjadi perlindungan terhadap buruh dari kesewenang-wenangan
pengusaha.
Pada
kesempatan kali ini penulis ingin membahas mengenai pidana dalam
ketenagakerjaan yang bagi sebagian orang khususnya pada pekerja/buruh tidak
begitu mengetahuinya.
Ada dua
jenis tindak pidana dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan (UUK), yakni
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan pidana kejahatan terdapat dalam pasal 183, 184, dan 185, sedangkan ketentuan pidana pelanggaran terdapat dalam pasal 186, 187 dan 188.
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan pidana kejahatan terdapat dalam pasal 183, 184, dan 185, sedangkan ketentuan pidana pelanggaran terdapat dalam pasal 186, 187 dan 188.
TINDAK PIDANA KEJAHATAN
Pasal 183:
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Didalam Pasal 74 disebutkan:
(1)
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2)
Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a.
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.
b.
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian.
c.
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d.
semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
(3)
Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Penjabaran pasal diatas sudah
cukup jelas bahwa apabila mempekerjakan dan melibatkan pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk sebagaimana disebutkan dalam pasal 74 ayat 2 dan 3 maka ancaman
pidananya adalah paling singkat 2 (dua) tahun penjara dan paling lama 5 (lima)
tahun penjara dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 184:
1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 167 ayat (5) disebutkan “Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha
wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).”
Pada ketentuan pasal ini sering
kali dilanggar oleh pengusaha karena jumlah pesangon yang dibayarkan cukup
besar apabila tidak diikutsertakan pada program pensiun.
Pasal 185
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat
(1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 42 “(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memiliki izin
tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Pemberi kerja perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.”
Pada ketentuan pidana yang
disebutkan dalam pasal 185 terhadap pelanggaran pasal 42 ayat 1 dan ayat 2
penulis kurang sepakat jika dimasukkan dalam kategori kejahatan karena pasal
tersebut berkaitan dengan perijinan, mungkin ini adalah bentuk keberpihakan dan
perlindungan negara untuk mengutamakan tenaga kerja WNI karena banyaknya
pengangguran yang setiap tahunnya semakin meningkat.
Pasal 68 “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Akan tetapi ada
pengecualianya apabila pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan ringan yang
dijabarkan dalam pasal 69 ayat 2:
”(2)
Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a.
izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.
waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.
keselamatan dan kesehatan kerja;
f.
adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g.
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Sehingga apabila tidak memenuhi
syarat-syarat diatas maka pengusaha dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 80 “Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”
Ketentuan pasal 80 ini
seringkali dilanggar oleh perusahaan, khusunya dibidang manufaktur yang
mengharuskan mesin produksi harus selalu hidup dan pekerja harus selalu bekerja
dengan system shifting, penulis sendiri pernah menyaksikan pelanggaran terhadap
pasal 80 disalah satu perusahaan manufaktur di Indonesia. Pada prinsipnya
ibadah adalah Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi.
Pasal 82 “(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2)
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat
1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau
bidan”
Pengusaha seringkali memberikan
aturan kepada pekerja perempuan agar siap untuk tidak hamil dalam jangka waktu
tertentu dan ada pula yang mengatur bahwa setiap karyawan yang hamil atau akan
melahirkan maka harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk
menghindari pembayaran cuti dalam istirahat melahirkan tersebut.
Pasal 90 ayat (1) “Pengusaha dilarang membayar upah lebih
rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.
Dalam Pasal 89 Disebutkan:
(1)
Upah minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
dari atas :
a.
upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4)
Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan Pasal ini sebenarnya
sebuah senjata yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak pekerja agar
memperoleh penghasilan yang layak. Akan tetapi hingga saat ini masih banyak
perusahaan-perusahaan yang memberikan upah di bawah upah minimum terutama pada
perusahaan yang bergerak dibidang retail, jasa dan lainnya yang kelasnya masih
menengah kebawah.
Pasal 143
(1)
Siapapun tidak dapat menghalang-halangai pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan
damai.
(2)
Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukkan mogok kerja secara
sah, tertib dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada pasal ini memberikan
perlindungan Hak terhadap pekerja/buruh untuk melakukan mogok kerja namun
disayangkan seringkali buruh kontrak tidak diperpanjang kontraknya apabila
melakukan mogok kerja atau berdemonstrasi.
Pasal 160
(4)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka
pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(7)
Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Amat disayangkan bahwa
kebanyakan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja mengatur bahwa apabila
pekerja tersangkut persoalan pidana atau diduga melakukan tindak pidana maka
perjanjian kerja berakhir sehingga potensi untuk tidak mendapat uang pesangon
maupun uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
TINDAK
PIDANA PELANGGARAN
Pasal 186
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan
ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi
pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau
denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak
Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 35
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan
perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.
(3)
Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja
wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan
dan
kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Perlindungan sejak rekrutmen
sampai penempatan tenaga kerja dengan memperhatikan kesejahteraan, keselamatan
dan kesehatan fisik dan mental merupakan bentuk perlindungan yang harus
dilakukan dan sebuah hal yang wajar karena ketenagakerjaan bukan hanya saat
bekerja namun sebelum bekerja atau proses rekrutmen juga berkaitan dengan yang
dimaksud ketenagakerjaan yang diatur dalam UUK.
Pasal 93
(1)
Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a.
pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b.
pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c.
pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan dan
keguguran
kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua
atau
mertua atau anggora keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan
kewajban terhadap agamanya;
e.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan
ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f.
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha
tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan
yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g.
pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h.
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan
pengusaha; dan
i.
pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
Potensi pelanggaran dalam pasal
ini cukup besar dan bukan hanya potensi namun implementasi terhadap pasal ini
sangat kurang sehingga seharusnya tindak pidana pelangaran dalam pasal ini bisa
diterapkan terhadap pengusaha-pengusaha yang nakal terhadap para pekerjanya.
Pasal 137
Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak
melanggar hukum.
Ketentuan dua pasal ini
menitikberatkan kepada buruh agar tertib dalam melakukan pemogokan.
Pasal
187
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayata (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85
ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp, 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 37
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 44
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
Pasal 45
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a.
menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari
tenaga kerja asing; dan
b.
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh
tenaga kerja asing.
Pasal 67
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pada pasal ini mengatur hak
penyandang cacat sehingga setidak-tidaknya perlindungan terhadap penyandang
disabilitas harus terjamin.
Pasal 71
(1)
Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenihi
syarat :
a.
di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b.
waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c.
kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial,
dan waktu sekolah.
Pasal 76
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2)
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselaman kandungannya maupun dirinya
apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 wajib :
a.
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b.
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
(4)
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulanag bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Perlindungan untuk pekerja
perempuan cukup baik dalam pengaturannya akan tetapi dalam implementsinya
sangat jauh dari ekspektasi, karena seringkali pengusaha kurang memperdulikan
aturan perlindungan terhadap pekerja perempuan.
Pasal 78
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
Upah lembur ini sudah penulis
bahas pada tulisan sebelumnya, ini adalah masalah yang cukup krusial,
ketidaktahuan pekerja/buruh terhadap perhitungan lembur membuatnya tidak
menyadari hak-haknya dirampas oleh pengusaha dan semestinya pengusaha yang
melanggar ketentuan ini harus benar-benar dapat ditindak sesuai kdengan
ketentuang yang berlaku.
Pasal 79
(1)
Pengusaha wajib memberi waktu istirahaat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2)
Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a.
istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahaata tersebut tidak termasuk jam
kerja;
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
c.
cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d.
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang
telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang
sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahata
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipanan masa kerja 6 (enam) tahun.
Istirahat panjang yang
disebutkan dalam pasal 79 ayat 2 huruf d sangat jarang diketahui oleh
pekerja/buruh sehingga tidak jarang pengusaha mengabaikan ketentuan tersebut
dan hak istirahat pekerja/buruh tidak dapat terpenuhi.
Pasal 85
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari
libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayata (2) wajib membayar upah kerja lembur.
Seringkali pengusaha
mempekerjakan pekerja/butuh di hari libur resmi tanpa membayar upah lembur akan
tetapi menggantinya dengan hari istirahat di hari lain.
Pasal 144
Terhadap
mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 140 pengusaha dilarang :
a.
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan;
atau
b.
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok
kerja.
Sanksi atau tindakan balasan
terhadap pekerja/buruh yang mogok seakan tidak terlihat namun terasa oleh buruh
yaitu biasanya dengan tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja dengan
perjanjian waktu tertentu.
Pasal
188
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal
38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal
111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling
sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pipdana pelanggaran.
Pasal 14
(2)
Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh
izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota
Pasal 38
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
Pasal 63
(1)
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Pada pasal ini sering diabaikan
oleh pengusaha sehingga membuat ketidakpastian terhadap upah yang harus
diperoleh. Kejadian ini cukap banyak terjadi dibeberapa perusahaan, hal serupa
juga berkenaan dengan akibat hukum terhadap pelanggaran pada ketentuan PKWT
sehingga demi hukum menjadi PKWTT.
Pasal 78
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Pada kenyataannya banyak
pekerja/ buruh yang lembur lebih dari 3 jam dalam 1 hari dan pekerja/buruh
sepakat akan hal itu sehingga pelanggaran pasal ini seperti tidak ada akibat
hukumnya jika antara pekerja/buruh dengan pengusahan telah sepakat.
Pasal 108
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk.
Pasal 111
(3)
Masa berlaku peratauran perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelah habis masa berlakunya.
Pasal 114
Pengusaha
wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Terkait dengan peraturan
perusahaan ini tidak jarang pengusaha membuat peraturan dengan tidak melibatkan
pekerja/serikat pekerja sehingga pekerja pun seringkali tidak mengetahui
peraturan perusahaan kecuali saat melanggarnya.
Pasal 148
(1)
Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta insntansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan
(lock out) dilaksanakan.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
a.
waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock
aut); dan
b.
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock aut).
(3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
189
Sanksi
pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.
Semoga Bermanfaat bagi para
pekerja/buruh dan pengusaha bisa lebih tertib terhadap aturan yang berlaku
dalam ketenagakerjaan.
Sumber: Undang-Undang No 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.